"Sang Kyai" Sebuah Film Rako Prijanto |
Jika dihitung secara matematis, rentang antara tahun 1942
dengan 2013 “hanya” 71 tahun. Tapi direntang waktu itu, ternyata banyak
sekali hal yang telah berubah. Jika pada 1942 puluhan remaja rela
begadang mengaji kitab kuning, tahun 2013 ratusan remaja begadang
“membaca” facebook. Jika pada 1942 anak muda malu tak salat Dzuhur
berjamaah, kini anak muda malu lantaran tak punya gadget baru. Jika pada
tahun 1942 pemimpin dicintai karena kesalihannya, kini pemimpin
disegani karena uangnya.
Itulah kesan yang saya tangkap
saat menyaksikan pembuka film Sang Kyai (Rapi Film, 2013). Tergambar,
beberapa remaja ditemani orang tuanya mendaftar untuk ngaji ke
Tebuireng. Bekal mereka bukan uang, tapi padi. Tapi jika padi pun tak
punya, Sang Kyai akan tetap menerima mereka. Kyai memberi pondokan yang
sama luas dengan santri lain.
Sang Kyai mengisahkan
perjalanan hidup Hadratusyaikh KH. Hasyim Asyari, pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng yang mashur di nusantara. Ia juga pendiri Nahdlatul
Ulama, organisasi umat Muslim terbesar di Tanah Air. Meski bergenre film
biografis, Sang Kyai tampak tak berambisi memotret seluruh kehidupan Kh
Hasyim Asyarie. Film hanya mencuplik 5 tahun kehidupan Hasyim Asyari
sejak 1942 (tahun mulai pendudukan Jepang) hingga tahun 1947 saat Sang
Kyai wafat.
Pemilihan masa itu, saya kira penonton mafhum,
amat tepat. Sebab, pada masa-masa itulah kehidupan Sang Kyai dipenuhi
aneka konflik. Antara tahun 1942 hingga 1947 latar sosial Indonesia juga
mencapai klimak. Setidak-tidaknya karena saat itu Indonesia mengalami
tiga masa penting yang “berdarah-darah”, yakni kedatangan Jepang,
proklamasi kemerdekaan, dan Agresi Militer I oleh Belanda.
Dalam
film garapan sutradara Rako Prijanto itu, KH Hasyim Asyari digambarkan
sebagai tokoh kharismatik. Umat muslim Indoenesia, baik nahdliyin maupun
bukan, saya kira kenal tokoh ini – sekalipun sekadar namanya. Kondisi
ini membantu sutradara sehingga tak perlu “cerewet” menceritakan latar
belakang khidupan Sang Kyai. Bahwa beliau adalah pendiri NU, ketua
Masyumi, dan pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang, banyak orang sudah tahu.
Lima Adegan
Yang
menarik bagi saya adalah cara sutradara membangun karakter kharismatik
sehingga tampak nyata, logis, berterima. Untuk membangun karakter ini
sutradara tak perlu melekati Sang Kyai dengan mitos, sesuatu yang
sebenarnya tak begitu jauh dalam praksis kehidupan masyarakat Jawa.
Kharisma Sang Kyai terpancar pada adegan keseharian yang lumrah dan
lancar.
Pertama, saat adegan awal, titah Kyai untuk
menerima calon santri miskin. Kamid, santri jelek dan kementus yang jadi
panitia penerimaan santri baru awalnya menolak calon santri miskin.
Tapi begitu Sang Kyai bertitah, Kamid Cuma nyengir tak kuasa membantah
perintah.
Kedua, wibawa kyai tampak saat KH Hasyim Asyari
akan dibawa Jepang. Ratusan santri tak rela guru mereka diperlakukan
hina. Maka, sebisa mungkin mereka melindunginya, sekalipun wajah harus
digampar dengan popr senjata hingga berdarah-darah.
Adegan KH. Hasyim Asyari Hendak Dibawa Pasukan Jepang |
Ketika
Hadratusyaikh diangkut oleh Jepang, ratusan santri menangis berlarian.
Mereka mengikuti dari belakang, dengan perasaan tak karuan. Bingung,
sedih, marah bercampur jadi satu.
Selanjutnya, saat sang
kyai ditahan Jepang, ratusan santri berdatangan. Kegeraman menuntun
langkah mereka menuju penjara. Para santri minta Sang Kyai dibebaskan
supaya kembali ke tengah-tengah mereka. Para santri ingin berontak,
ingin mendobrak gerbang besi yang dirantai itu. Tapi, apa daya, mereka
kalah senjata. Sadar tak mungkin melawan dengan kekerasan, mereka pulang
dan menggelar aksi damai. Kali ini aksi dipimpin Wahid Hasyim, salah
satu putra KH Hasyim Asyarie.
Kewibaan Sang Kyai ternyata
tak hanya diakui kawan, tapi jug lawan. Awal kedatangan Jepang, para
tentara memaksa seluruh penduduk melakukan sekerei, menundukan badan
dengan menghadap ke timur sebagai penghormatan pada Kaisar Jepang. Meski
bagi kebanyakan orang ini perkara sederhana, bagi Sang Kyai tindakan
ini bertentang dengan aqidah. Maka, menyatir salah satu baris puisi Wiji
Tuku, “Hanya ada satu kata: tolak!”
Sikap ini bikin
Jepang berang. Lebih-lebih, Kyai menolak mengaku terlibat dengan
kerusuahn Cukir. Tentara Jepang pun berang. Ia mengancam kyai akan
menyiksanya. Tapi, soal aqidah bagi Sang Kyai adalah soal yang amat
prinsip. Tak ada ruang negosiasi. Kyai bersikukuh menolak, meski diancam
bakal disiksa. “SIlakan tuan siksa saya,” kata kyai sambil membuka
kedua tangannya.
Wibawa sang Kyai juga digambarkan dengan
luasnya jejaring keilmuan. Tidak hanya membentang di Jawa-Madura, sang
kyai diakui ulama dunia. Ketika bangsa ini sedang sibuk menyiapkan
kemerdekaan, dukungan dari ulama dunia diterima. Salah satu dukungan itu
diterima melalui Sang Kyai.
Tradisi Pesantren
Bagaimana para kyai – dalam kehidupan nyata – demikian kuasa mengukuhkan wibawanya?
Pertama,
sebagai manusia kyai adalah sosok istmewa dalam tata sosial muslim
Jawa. Keunggulan personal yang dimilikinya membuat kyai memiliki peran
sosial dan politik yang unik dan berbeda dengan anggota masyarakat lain.
Kyai dibedakan dengan ulama oleh karena peran kulturalnya yang lebih
dominan. Adapun ulama puya peran adminsitratif yang lebih kuat.
Horikoshi
(dalam Faridl, 2007) menunjukkan kekuatan kyai sebagai sumber
perubahan sosial, bukan saja pada masyarakat pesantren tapi juga pada
masyarakat di sekitarnya. Sementara Geertz (1960) menunjukkan kyai
sebagai makelar budaya (cultural brokers) dan menyatakan bahwa pengaruh
kyai terletak pada pelaksanaan fungsi makelar ini.
Para
kyai hampir selalu mendasari sikap, ucapan, dan tindakannya dengan dalil
teologis. Ini membuat kyai relati mudah mendapat kepercayaan masyarakat
dibanding agen sosial lain. Sebagai “orang suci” kyai mengambil
tindakan demi kemaslahatan umat, bukan demi keuntungan personalnya.
Di
pesantren tradsional seperti Tebuireng, peran kyai emang sangat
sentral. Tidak hanya menjadi guru utama, ia juga manajer. Maka, selain
mengajar santri sang kyai juga mengurusi keuangan, logistic, hingga
santrinya yang “kebelet” nikah. Untuk mengurusi hal-hal begitu, kyai tak
dibayar. Dalam berbagai kasus, kyai bahkan harus merogoh kantong
pribadi. Selain itu, citra kyai sebagai pribadi yang berpengetahuan luas
membuatnya jadi “sungai” bagi anggota masyarakat yang merasa “gersang”.
Selama ia mampu menjaga kepercayaan itu, simpati umat akan terus
mengalir.
Sebagai agen politik, kyai punya peran strategis
bukan hanya karena memiliki massa militant. Jejering yang dibangun kyai
membuat mereka bisa membangun kekuatan politik yang kuat. Hubungan
mereka tidak terjalin secara transaksional, melainkan secara emosional,
sehingga solid dan berkelanjutan.
Meski demikian, sebagai
pribadi yang unik, sikap kyai tak digeneralisasi. Latar belakang
pendidikan, dinamika sosial kultural, serta aliran pemikiran yang
dipilihnya membuat mereka berbeda sikap menanggapi sebuah persoalan.
Faridl (2007) menyebut dua model kyai. Pertama, model yang memilih diam
ketika menghadapai berbagai perubahan sosial politik. Mereka biasanya
memilih untuk lebih memperhatikan lembaga pendidikan (dakwah) yang
dimilikinya, ketimbang ikut terlibat dalam urusan sosial politik.
Kedua,
model yang cepat tanggap terhadap berbagai perubahan sosial politik
yang terjadi. Perubahan bagi mereka merupakan tawaran nilai dari sesuatu
yang baru, yang mungkin saja mengandung hal yang lebih baik dari nilai
lama. Dengan demikian, ia bisa dikompromikan untuk diterima. Sikap ini
membuat mereka lebih berani untuk terjun pada perubahan sosial politik
yang terjadi sambil mentrasformasikan nilai-nilai lama.
KH
Hasyim Asyarie agaknya lebih tepat jika masuk pada kyai kategori kedua.
Dia bukan kyai pertapa yang berdakhwa dalam gua bernama pondok
pesantren. Ia membaca kitab sekaligus situasi masyarakatnya. Ia bahkan
tak menolak ketika putranya Wahid Hasyim, mengusulkan supaya para santri
diajari bahasa asing non-Arab. Argumenya: siapa yang menguasai bahasa
asing, pasti akan lebih waspada, tak mudah kena muslihat.
Film Bagus
Ada
satu hal yang mengejutkan dari film ini. Sutradara temenawarkan fakta
“sinametis” baru saat adegan pembunuhan Jenderal Mallaby. Digambarkan,
Jenderal Mallaby tewas oleh santri Tebuireng bernama Harun. Padahal,
sejauh ini para akademisi dan sejarawan belum bisa menyebut secara
definitive siapa pembunuh jenderal pasukan sekutu itu.
Hisbullah
mengklaim, anggota mereka yang membunuh jenderal. Pasukan Gurkha juga
mengaku bertanggung jawab. Simpang siur ini terjadi karena situasi saat
pembunuhan Mallaby di depan Internatio Jembatan Merah Surabaya memang
sangat kacau.
Meski begitu, soal pembunuhan Mallaby, tak
membuat kualitas film ini berkurang. Ikranegara memainkan tokoh Kyai
dengan sangat baik. Agus Kuncoro juga “menjadi” Wahid Hasyim dengan
indahRako Prijanto mengemas kehidupan Kh hasyim Asyari dengan alur yang
menghibur. Bagi orang tua yang ingin mengenalkan sosok KH Hasyim Asyarie
kepada putra-putrinya,
0 komentar:
Posting Komentar