Rabu, 05 Juni 2013

"Sang Kyai" Sebuah Film Rako Prijanto

Jika dihitung secara matematis, rentang antara tahun 1942 dengan 2013 “hanya” 71 tahun. Tapi direntang waktu itu, ternyata banyak sekali hal yang telah berubah. Jika pada 1942 puluhan remaja rela begadang mengaji kitab kuning, tahun 2013 ratusan remaja begadang “membaca” facebook. Jika pada 1942 anak muda malu tak salat Dzuhur berjamaah, kini anak muda malu lantaran tak punya gadget baru. Jika pada tahun 1942 pemimpin dicintai karena kesalihannya, kini pemimpin disegani karena uangnya.

Itulah kesan yang saya tangkap saat menyaksikan pembuka film Sang Kyai (Rapi Film, 2013). Tergambar, beberapa remaja ditemani orang tuanya mendaftar untuk ngaji ke Tebuireng. Bekal mereka bukan uang, tapi padi. Tapi jika padi pun tak punya, Sang Kyai akan tetap menerima mereka. Kyai memberi pondokan yang sama luas dengan santri lain.

Sang Kyai mengisahkan perjalanan hidup Hadratusyaikh KH. Hasyim Asyari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng yang mashur di nusantara. Ia juga pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi umat Muslim terbesar di Tanah Air. Meski bergenre film biografis, Sang Kyai tampak tak berambisi memotret seluruh kehidupan Kh Hasyim Asyarie. Film hanya mencuplik 5 tahun kehidupan Hasyim Asyari sejak 1942 (tahun mulai pendudukan Jepang) hingga tahun 1947 saat Sang Kyai wafat.

Pemilihan masa itu, saya kira penonton mafhum, amat tepat. Sebab, pada masa-masa itulah kehidupan Sang Kyai dipenuhi aneka konflik. Antara tahun 1942 hingga 1947 latar sosial Indonesia juga mencapai klimak. Setidak-tidaknya karena saat itu Indonesia mengalami tiga masa penting yang “berdarah-darah”, yakni kedatangan Jepang, proklamasi kemerdekaan, dan Agresi Militer I oleh Belanda.

Dalam film garapan sutradara Rako Prijanto itu, KH Hasyim Asyari digambarkan sebagai tokoh kharismatik. Umat muslim Indoenesia, baik nahdliyin maupun bukan, saya kira kenal tokoh ini – sekalipun sekadar namanya. Kondisi ini membantu sutradara sehingga tak perlu “cerewet” menceritakan latar belakang khidupan Sang Kyai. Bahwa beliau adalah pendiri NU, ketua Masyumi, dan pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang, banyak orang sudah tahu.

Lima Adegan
Yang menarik bagi saya adalah cara sutradara membangun karakter kharismatik sehingga tampak nyata, logis, berterima. Untuk membangun karakter ini sutradara tak perlu melekati Sang Kyai dengan mitos, sesuatu yang sebenarnya tak begitu jauh dalam praksis kehidupan masyarakat Jawa. Kharisma Sang Kyai terpancar pada adegan keseharian yang lumrah dan lancar.

Pertama, saat adegan awal, titah Kyai untuk menerima calon santri miskin. Kamid, santri jelek dan kementus yang jadi panitia penerimaan santri baru awalnya menolak calon santri miskin. Tapi begitu Sang Kyai bertitah, Kamid Cuma nyengir tak kuasa membantah perintah.

Kedua, wibawa kyai tampak saat KH Hasyim Asyari akan dibawa Jepang. Ratusan santri tak rela guru mereka diperlakukan hina. Maka, sebisa mungkin mereka melindunginya, sekalipun wajah harus digampar dengan popr senjata hingga berdarah-darah.

Adegan KH. Hasyim Asyari Hendak Dibawa Pasukan Jepang


Ketika Hadratusyaikh diangkut oleh Jepang, ratusan santri menangis berlarian. Mereka mengikuti dari belakang, dengan perasaan tak karuan. Bingung, sedih, marah bercampur jadi satu.

Selanjutnya, saat sang kyai ditahan Jepang, ratusan santri berdatangan. Kegeraman menuntun langkah mereka menuju penjara. Para santri minta Sang Kyai dibebaskan supaya kembali ke tengah-tengah mereka. Para santri ingin berontak, ingin mendobrak gerbang besi yang dirantai itu. Tapi, apa daya, mereka kalah senjata. Sadar tak mungkin melawan dengan kekerasan, mereka pulang dan menggelar aksi damai. Kali ini aksi dipimpin Wahid Hasyim, salah satu putra KH Hasyim Asyarie.

Kewibaan Sang Kyai ternyata tak hanya diakui kawan, tapi jug lawan. Awal kedatangan Jepang, para tentara memaksa seluruh penduduk melakukan sekerei, menundukan badan dengan menghadap ke timur sebagai penghormatan pada Kaisar Jepang. Meski bagi kebanyakan orang ini perkara sederhana, bagi Sang Kyai tindakan ini bertentang dengan aqidah. Maka, menyatir salah satu baris puisi Wiji Tuku, “Hanya ada satu kata: tolak!”

Sikap ini bikin Jepang berang. Lebih-lebih, Kyai menolak mengaku terlibat dengan kerusuahn Cukir.  Tentara Jepang pun berang. Ia mengancam kyai akan menyiksanya. Tapi, soal aqidah bagi Sang Kyai adalah soal yang amat prinsip. Tak ada ruang negosiasi. Kyai bersikukuh menolak, meski diancam bakal disiksa. “SIlakan tuan siksa saya,” kata kyai sambil membuka kedua tangannya.

Wibawa sang Kyai juga digambarkan dengan luasnya jejaring keilmuan. Tidak hanya membentang di Jawa-Madura, sang kyai diakui ulama dunia. Ketika bangsa ini sedang sibuk menyiapkan kemerdekaan, dukungan dari ulama dunia diterima. Salah satu dukungan itu diterima melalui Sang Kyai.

Tradisi Pesantren
Bagaimana para kyai – dalam kehidupan nyata – demikian kuasa mengukuhkan wibawanya?

Pertama, sebagai manusia kyai adalah sosok istmewa dalam tata sosial muslim Jawa. Keunggulan personal yang dimilikinya membuat kyai memiliki peran sosial dan politik yang unik dan berbeda dengan anggota masyarakat lain. Kyai dibedakan dengan ulama oleh karena peran kulturalnya yang lebih dominan. Adapun ulama puya peran adminsitratif yang lebih kuat.

Horikoshi (dalam Faridl, 2007)  menunjukkan kekuatan kyai sebagai sumber perubahan sosial, bukan saja pada masyarakat pesantren tapi juga pada masyarakat di sekitarnya. Sementara Geertz (1960) menunjukkan kyai sebagai makelar budaya (cultural brokers) dan menyatakan bahwa pengaruh kyai terletak pada pelaksanaan fungsi makelar ini.

Para kyai hampir selalu mendasari sikap, ucapan, dan tindakannya dengan dalil teologis. Ini membuat kyai relati mudah mendapat kepercayaan masyarakat dibanding agen sosial lain. Sebagai “orang suci” kyai mengambil tindakan demi kemaslahatan umat, bukan demi keuntungan personalnya.

Di pesantren tradsional seperti Tebuireng, peran kyai emang sangat sentral. Tidak hanya menjadi guru utama, ia juga manajer. Maka, selain mengajar santri sang kyai juga mengurusi keuangan, logistic, hingga santrinya yang “kebelet” nikah. Untuk mengurusi hal-hal begitu, kyai tak dibayar. Dalam berbagai kasus, kyai bahkan harus merogoh kantong pribadi. Selain itu, citra kyai sebagai pribadi yang berpengetahuan luas membuatnya jadi “sungai” bagi anggota masyarakat yang merasa “gersang”. Selama ia mampu menjaga kepercayaan itu, simpati umat akan terus mengalir.

Sebagai agen politik, kyai punya peran strategis bukan hanya karena memiliki massa militant. Jejering yang dibangun kyai membuat mereka bisa membangun kekuatan politik yang kuat. Hubungan mereka tidak terjalin secara transaksional, melainkan secara emosional, sehingga solid dan berkelanjutan.

Meski demikian, sebagai pribadi yang unik, sikap kyai tak digeneralisasi. Latar belakang pendidikan, dinamika sosial kultural, serta aliran pemikiran yang dipilihnya membuat mereka berbeda sikap menanggapi sebuah persoalan. Faridl (2007) menyebut dua model kyai. Pertama, model yang memilih diam ketika menghadapai berbagai perubahan sosial politik. Mereka biasanya memilih untuk lebih memperhatikan lembaga pendidikan (dakwah) yang dimilikinya, ketimbang ikut terlibat dalam urusan sosial politik.

Kedua, model yang cepat tanggap terhadap berbagai perubahan sosial politik yang terjadi. Perubahan bagi mereka merupakan tawaran nilai dari sesuatu yang baru, yang mungkin saja mengandung hal yang lebih baik dari nilai lama. Dengan demikian, ia bisa dikompromikan untuk diterima. Sikap ini membuat mereka lebih berani untuk terjun pada perubahan sosial politik yang terjadi sambil mentrasformasikan nilai-nilai lama.

KH Hasyim Asyarie agaknya lebih tepat jika masuk pada kyai kategori kedua. Dia bukan kyai pertapa yang berdakhwa dalam gua bernama pondok pesantren. Ia membaca kitab sekaligus situasi masyarakatnya. Ia bahkan tak menolak ketika putranya Wahid Hasyim, mengusulkan supaya para santri diajari bahasa asing non-Arab. Argumenya: siapa yang menguasai bahasa asing, pasti akan lebih waspada, tak mudah kena muslihat.

Film Bagus
Ada satu hal yang mengejutkan dari film ini. Sutradara temenawarkan fakta “sinametis”  baru saat adegan pembunuhan Jenderal Mallaby. Digambarkan, Jenderal Mallaby tewas oleh santri Tebuireng bernama Harun. Padahal, sejauh ini para akademisi dan sejarawan belum bisa menyebut secara definitive siapa pembunuh jenderal pasukan sekutu itu.

Hisbullah mengklaim, anggota mereka yang membunuh jenderal. Pasukan Gurkha juga mengaku bertanggung jawab. Simpang siur ini terjadi karena situasi saat pembunuhan Mallaby di depan Internatio Jembatan Merah Surabaya memang sangat kacau.

Meski begitu, soal pembunuhan Mallaby, tak membuat kualitas film ini berkurang. Ikranegara memainkan tokoh Kyai dengan sangat baik. Agus Kuncoro juga “menjadi” Wahid Hasyim dengan indahRako Prijanto mengemas kehidupan Kh hasyim Asyari dengan alur yang menghibur. Bagi orang tua yang ingin mengenalkan sosok KH Hasyim Asyarie kepada putra-putrinya,


Next
This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar:

Posting Komentar